Archive for the 'Oil and Gas' Category

09
Feb
09

RI ingin Shell masuk refinery


Calon mitra Pertamina sisakan 4 perusahaan
Cetak
DENHAAG, Belanda: Indonesia ingin Shell tidak hanya bertindak selaku participating interest dalam pengelolaan blok migas Natuna D-Alpha, tetapi juga masuk bisnis pengolahan dengan memindahkan fasilitas refinery-nya dari Singapura ke Batam.

Wapres Jusuf Kalla mengatakan Perdana Menteri Belanda Jan Peter Balkenende menyampaikan concern dan mendukung Royal Dutch Shell Plc, perusahaan Belanda, dalam keterlibatan terhadap proyek gas di Natuna itu.

“[PM mengatakan] Shell punya keahlian. Oke, saya bilang Pertamina sendiri sudah melakukan pertemuan-pertemuan, dan [PM mengatakan] mereka siap,” ujar Kalla Sabtu.

Wapres mengungkapkan hal itu selepas pertemuan dengan Balkenende di Catshuis, kediaman resmi perdana menteri Belanda.

Selain bertemu dengan PM Belanda, Kalla juga menghadiri jamuan makan malam dengan Menteri Ekonomi Maria van Hoeven dan sejumlah CEO perusahaan Belanda.

Blok Natuna D-Alpha, yang semula kontraknya dipegang oleh ExxonMobil Corp., kaya cadangan gas, yang diperkirakan memiliki kandungan hingga 46 triliun kaki kubik. Kandungan gas ini merupakan yang terbesar di kawasan Asia saat ini.

Menurut Kalla, saat ini-selain ExxonMobil-Shell dan dua perusahaan minyak lainnya masuk daftar pendek yang mungkin akan dipilih mendampingi Pertamina dalam pengelolaan blok itu.

Pemerintah, menurut Kalla, minta agar pengelolaan Natuna dilakukan secara terpadu, mulai dari proses eksplorasi di hulu, pengolahan (refinery), dan distribusi. Indonesia berkeinginan agar pengelolaan Natuna berbeda, sehingga Pertamina menjadi perusahaan kelas dunia. “Pertamina harus [dengan share] paling besar.”

Permintaan Wapres itu mendapat respons positif dari CEO Royal Dutch Shell Van der Ver. “Kami siap masuk ke refinery itu.”

Kalla menambahkan Shell akan mempelajari undangan Indonesia untuk masuk ke bisnis kilang migas. “Perusahaan itu sudah memiliki pengalaman di hilir, distribusi BBM,” katanya setelah mengunjungi pelabuhan Rotterdam, kemarin.

Pertamina baru-baru ini ditetapkan sebagai pengendali atau kontraktor tunggal blok itu setelah perusahaan Amerika Serikat, ExxonMobil Corp., gagal melaksanakan kontrak sebelumnya.

BUMN itu dapat menandatangani kontrak Natuna dengan pemerintah dan setelah itu memilih mitra yang sesuai. Selain Shell, sejumlah perusahaan multinasional berminat menjadi mitra Pertamina, antara lain StatOil, PetroChina, dan Exxon selaku pemegang kontrak lama.

Terobosan & nilai tambah

Kepala BKPM M. Lutfi, yang mendampingi Wapres dalam pertemuan dengan PM Balkenende, menyampaikan keinginan Jakarta agar Shell memberikan nilai tambah dan terobosan baru di Natuna.

“Kalau cuma partisipasi [di Natuna], tidak ada sesuatu yang baru [bagi Shell] dibandingkan dengan Exxon, dan perusahaan yang masuk shortlisted lainnya.”

Lutfi, atas izin Wapres, mengatakan kepada PM bahwa bagi Indonesia akan lebih menarik jika Shell mau memindahkan fasilitas refinery minyaknya di Singapura ke Indonesia, sebagai bagian dari kemitraan tersebut.

“Saya kemukakan bahwa kita punya kawasan ekonomi khusus, dan jaraknya hanya 20 kilometer dari Singapura,” katanya merujuk Batam.

PM Balkenende, menurut Lutfi, berjanji akan menyampaikan permintaan Indonesia itu kepada Shell. “Ini bagian dari komitmen kita, menjual tidak hanya barang [minyak] mentah, tetapi juga setengah jadi. Kalau Shell mau, ini terobosan baru,” tutur Lutfi.

Dia memberikan ilustrasi, untuk fasilitas refinery yang dapat menghasilkan minyak olahan sekitar 330 juta barel per hari saja, akan menciptakan sekitar 930.000 lapangan kerja, dengan investasi sekitar US$5 miliar.

Pengelolaan proyek Natuna D-Alpha diperkirakan menelan biaya US$30 miliar, karena membutuhkan teknologi canggih. Pertamina memerlukan mitra yang menguasai teknologi pemisahan CO2 dari gas di Natuna D-Alpha, yang mengandung kadar karbon dioksida hingga 70%.

Kalla melanjutkan pemerintah tidak ingin sumber daya alam Indonesia hanya berada dalam satu keranjang. Oleh karena itu, Indonesia seharusnya tidak hanya bermitra dengan mitra tertentu supaya dapat memperoleh manfaat lebih besar dan punya perbandingan dalam hal teknologi.

Oleh karena itu, katanya, Indonesia menginginkan pengelolaan Natuna D-Alpha bisa menggandeng mitra dari Eropa.

Menurut Ketua Kadin Indonesia Komite Amerika Serikat Sofjan Wanandi, saat bertemu Wapres di Washington pada 5 Februari lalu, eksekutif Exxon sama sekali tidak menyinggung soal Natuna D-Alpha.

Bagi Exxon, kontraknya di Blok Natuna D-Alpha sebenarnya masih menyisakan persoalan karena perpanjangan kontrak baru berakhir 2009.

Pemerintah sendiri berkukuh tidak pernah memberikan perpanjangan kontrak terhadap perusahaan migas asal AS itu setelah berakhir pada 2005.

Ketika itu, kata Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Purnomo Yusgiantoro dalam berbagai kesempatan, bahkan telah memberikan kesempatan kepada Exxon mengembangkan blok itu.

Sofjan menjelaskan Exxon ingin meningkatkan kapasitas produksi di Blok Cepu menjadi 30.000 barel per hari dari 10.000 barel per hari. “Exxon minta izin meningkatkan kapasitas storage pada off shore di Cepu [Banyu Urip],” ujarnya. (arief.budisusilo@ bisnis.co.id)

27
Jan
09

Floating LNG plant off Indonesia to cost less

LOS ANGELES, Jan. 26 — The cost of a proposed floating LNG plant in Indonesia’s Timor Sea would be around $10 billion-about half an earlier government estimate-due to lower infrastructure costs, according to Inpex Holdings Inc., the project’s developer. “We expect [a figure of] around $10 billion,” said Shunichiro Sugaya, Inpex senior general manager of the Masela project, explaining that the price of steel is going down with the price of oil and that “reflects the lower price, lower capex (capital expenditure) .” Earlier this month, Indonesia tentatively agreed to Inpex’s proposal for the construction of a floating LNG plant, intended primarily for use at Abadi natural gas field in the Timor Sea. “In principle we have agreed to [the] Inpex proposal, but we are still evaluating the economic value of the project,” said Evita Legowo, director general of oil and gas at the Indonesian energy ministry (OGJ Online, Jan. 11, 2009).

Snøvhit, the world’s first all-electric LNG plant, was shipped from Spain to northern Norway.

Snøvhit, the world’s first all-electric LNG plant, was shipped from Spain to northern Norway.

Inpex Corp. currently is the sole operator of Abadi gas field on the Masela Block in eastern Indonesia, but reports surfaced earlier this month that Royal Dutch Shell was considering taking part in the project. At the time, Inpex said it would not rule out the possibility of inviting companies to take part in the project, but it had not yet held any talks with any company about selling stakes. “Since this is a big project, many people are interested. But we are not looking for partners for the time being,” said Kazuya Honda, Inpex’s public relations group manager. “Partnering with other companies in energy projects is common practice in the industry,” and there is a possibility that “Inpex would partner with somebody if we think it’s necessary to diversify risks,” he added. However Inpex has not decided whether to look for other companies to join the project, according to Sugaya. “We have not yet decided (on) any farm-out policy now,” he said, adding that under the production-sharing contract there is 10% participation for Indonesia and 90% for Inpex. The Japanese firm estimates there is more than 10 tcf of gas reserves in Abadi field, which-if confirmed-would make the project the second-biggest new gas field after the Tangguh project in Papua, which has combined reserves of 14.4 tcf. Inpex plans to construct one LNG train having a capacity of 4.5 million tonnes/year, with production to begin in 2016. Japanese buyers constitute the main market for the LNG, while the Indonesian government also wants some supply for its domestic market, said Sugaya.

Contact Eric Watkins at hippalus@yahoo. com.

http://www.ogj. com/display_ article/351435/ 7/ARTCL/none/ none/Floating- LNG -plant-off-Indonesi a-to-cost- less/?dcmp= OGJ.Daily. Update

29
May
08

Untuk Apa Punya Minyak?

Kamis, 29 Mei 2008 | 00:44 WIB

MT Zen

Dahulu, di zaman Orde Baru, saya masih ingat sekali bahwa setiap kali ada berita tentang turunnya harga minyak di pasaran dunia, Pemerintah Indonesia sudah berkeluh kesah. Pada waktu itu cadangan terbukti Indonesia tercatat 12 miliar barrel.

Kini, pada masa Reformasi ini, lebih khusus lagi selama kekuasaan Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla, pemerintah juga berteriak, berkeluh-kesah, dan panik apabila harga minyak meningkat di pasaran dunia.

Harga minyak turun berteriak, harga minyak naik lebih berteriak lagi dan panik. Jadi, apa gunanya kita punya minyak, sedangkan Indonesia sejak awal sudah menjadi anggota OPEC? Alangkah tidak masuk akalnya keadaan ini? Sangat kontroversial. Minyak itu tak lain adalah kutukan.

Cadangan tak tersentuh

Hingga kini Indonesia secara resmi disebut masih mempunyai cadangan minyak sebesar 9 miliar barrel. Memang betul, jika dibandingkan dengan cadangan minyak negara-negara Timur Tengah, 9 miliar barrel itu tidak ada artinya. Namun, jelas-jelas Indonesia masih punya minyak. Selain cadangan lama, cadangan blok Cepu belum juga dapat dimanfaatkan. Belum lagi cadangan minyak yang luar biasa besar di lepas pantai barat Aceh.

Perlu diketahui bahwa pada pertengahan tahun 1970-an Indonesia memproduksi 1,5 juta barrel per hari. Yang sangat mencolok dalam industri minyak Indonesia adalah tidak ada kemajuan dalam pengembangan teknologi perminyakan Indonesia sama sekali.

Norwegia pada awal-awal tahun 1980-an mempunyai cadangan minyak yang hampir sama dengan Indonesia. Perbedaannya adalah mereka tidak punya sejarah pengembangan industri minyak seperti Indonesia yang sudah mengembangkan industri perminyakan sejak zaman Hindia Belanda, jadi jauh sebelum Perang Dunia ke-2. Lagi pula semua ladang minyak Norwegia terdapat di lepas pantai di Laut Atlantik Utara. Lingkungannya sangat ganas; angin kencang, arus sangat deras, dan suhu sangat rendah; ombak selalu tinggi.

Teknologi lepas pantai, khusus mengenai perminyakan, mereka ambil alih dari Amerika Serikat hanya dalam waktu 10 tahun. Sesudah 10 tahun tidak ada lagi ahli-ahli Amerika yang bekerja di Norwegia.

Saya berkesempatan bekerja di anjungan lepas pantai Norwegia dan mengunjungi semua anjungan lepas pantai Norwegia itu. Tak seorang ahli Amerika pun yang saya jumpai di sana sekalipun modalnya adalah modal Amerika, terkecuali satu; seorang Indonesia keturunan Tionghoa dari Semarang yang merupakan orang pertama yang menyambut saya begitu terjun dari helikopter dan berpegang pada jala pengaman di landasan. Dia berkata sambil tiarap berpegangan tali jala, ”Saya dari Semarang, Pak.” Dia seorang insinyur di Mobil yang sengaja diterbangkan dari kantor besarnya di daratan Amerika untuk menyambut saya di dek anjungan lepas pantai bernama Stadfyord A di Atlantik Utara.

Di sanalah, dan di anjungan-anjungan lain, saya diceritakan bahwa mereka tidak membutuhkan teknologi dari Amerika lagi. Mereka sudah dapat mandiri dan dalam beberapa hal sudah dapat mengembangkan teknologi baru, terutama dalam pemasangan pipa-pipa gas dan pipa-pipa minyak di dasar lautan. Teknologi kelautan dan teknologi bawah air mereka kuasai betul dan sejak dulu orang-orang Norwegia terkenal sebagai bangsa yang sangat ulet dan pemberani. Mereka keturunan orang Viking.

Ada satu hal yang sangat menarik. Menteri perminyakan Norwegia secara pribadi pernah mengatakan kepada saya bahwa Norwegia dengan menerapkan teknologi enhanced recovery dari Amerika berhasil memperbesar cadangan minyak Norwegia dengan tiga kali lipat tanpa menyentuh kawasan-kawasan baru. Ini sesuatu yang sangat menakjubkan.

Norwegia pernah menawarkan teknologi tersebut kepada Indonesia, tetapi mereka minta konsesi minyak tersendiri dengan persyaratan umum yang sama dengan perusahaan lain. Ini terjadi pada akhir tahun 1980-an. Namun, kita masih terlalu terlena dengan ”kemudahan-kemudahan” yang diberikan oleh perusahaan-perusahaan Amerika. Pejabat Pertamina tidak mau mendengarkannya. Gro Halem Brundtland, mantan perdana menteri, menceritakan hal yang sama kepada saya.

Contoh lain, lihat Petronas. Lomba Formula 1 di Sirkuit Sepang disponsori oleh Petronas. Petronas itu belajar perminyakan dari Pertamina, tetapi kini jauh lebih kaya dibanding Pertamina. Gedung kembarnya menjulang di Kuala Lumpur. Ironisnya, banyak sekali pemuda/insinyur Indonesia yang bekerja di Petronas.

Kenapa banyak sekali warga Indonesia dapat bekerja dengan baik dan berprestasi di luar negeri, tetapi begitu masuk kembali ke sistem Indonesia tidak dapat berbuat banyak?

Jika kita boleh ”mengutip” Hamlet, dia bekata, ”There is something rotten, not in the Kingdom of Denmark, but here, in the Republic of Indonesia.”

Lengah-terlena

Salah satu kelemahan Indonesia dan kesalahan bangsa kita adalah mempunyai sifat complacency (perkataan ini tidak ada dalam Bahasa Indonesia, cari saja di kamus Indonesia mana pun), sikap semacam lengah-terlena, lupa meningkatkan terus kewaspadaan dan pencapaian sehingga mudah disusul dan dilampaui orang lain.

Lihat perbulutangkisan (contoh Taufik Hidayat). Lihat persepakbolaan Indonesia dan PSSI sekarang. Ketuanya saja meringkuk di bui tetap ngotot tak mau diganti sekalipun sudah ditegur oleh FIFA.

Apa artinya itu semua? Kita, orang Indonesia tidak lagi tahu etika, tidak lagi punya harga diri, dan tidak lagi tahu malu. Titik.

Ketidakmampuan Pertamina mengembangkan teknologi perminyakan merupakan salah satu contoh yang sangat baik tentang bagaimana salah urus suatu industri. Minyak dan gas di Blok Cepu dan Natuna disedot perusahaan-perusahaan asing, sementara negara nyaris tak memperoleh apa pun. Dalam hal ini, Pertamina bukan satu-satunya. Perhatikan benar-benar semua perusahaan BUMN Indonesia yang lain. Komentar lain tidak ada.

MT Zen Guru Besar Emeritus ITB
http://cetak. kompas.com/ read/xml/ 2008/05/29/ 00441957/ untuk.apa. punya.minyak

14
May
08

Timor Sea gas block a ‘huge’ find

Ika Krismantari, The Jakarta Post, Jakarta

The Masela Timor Sea gas block in East Nusa Tenggara has potential reserves of 10 trillion cubic feet (tcf), the country’s second’s biggest after the Tangguh block in Papua, an official says.

Upstream Oil and Gas Regulator (BPMigas) chairman Priyono said Monday that based on a first drilling trial by block operator Inpex, Japan’s largest oil company, data on available reserves showed a potential “almost as big as the Tangguh gas block”.

Tangguh block in Papua holds a proven gas reserve of 14.4 trillion cubic feet. This block, operated by British oil giant BP, is scheduled for production start-up by the end of 2008.

BPMigas planning deputy Achmad Luthfi said, however, that Inpex had yet to submit its proposal on project development, estimated to cost US$7 billion.

“Inpex’s representative from Japan will come to town tomorrow, to present detailed findings,” Luthfi said.

The Masela project is expected to involve the construction of a floating liquefied natural gas (LNG) processing terminal with a total capacity expected to reach 4 million tons per annum.

This will be the first floating LNG terminal in the country.

The decision to build a floating terminal is viewed more favorably by the government than the alternative option, which is to construct a pipeline to Australia, the closest possibility to the site, BPMigas said recently.

Due to the high cost of the proposed project, Inpex plans to seek partners to build the floating LNG terminal.

When asked about the plan, Luthfi said that a partnership permit would be given to Inpex and that it could decide on the matter under a business-to-business negotiation.

Should the project be approved this year, he said, the block is expected to start production by 2013.

Data from the Directorate General of Oil and Gas shows that so far Inpex has spent US$101.1 million on seismic surveys and drilling tests in the Masela block.

In this light, Priyono was upbeat that Indonesia could get back to its 1970s heyday in terms of gas production capacity.

During the past six years, the country’s gas production has been through a stagnant period with an average production of 8.15 billion cubic feet per day.

Priyono added that there were additional hopes for national gas production based on the Semai block, which is estimated to have probable gas reserves of 1 billion barrels of oil equivalent. The Semai block was offered in the government’s tender of oil and gas blocks last year.

It is reported that a number of oil and gas giants including U.S. Chevron, Exxon and ConocoPhillips, French Total and British Shell and BP are eyeing the Semai block.

The Timor Sea is part of the Indian Ocean situated between the islands of Rote and Timor, with underwater rights now split between Indonesia, Timor Leste and Australia.

07
May
08

Harga Minyak Bisa Tembus 140 Dollar AS

Harga Minyak Bisa Tembus 140 Dollar AS
Pemerintah Harus Lakukan Enam Langkah Konkret
Senin, 28 April 2008 | 01:05 WIB

Jakarta, Kompas – Pemerintah diperingatkan bahwa harga minyak mentah di pasar dunia bisa menembus 140 dollar AS per barrel pada akhir 2008. Ini karena ada potensi melemahnya nilai dollar AS terhadap mata uang asing lain, faktor geopolitik, dan kapasitas produksi minyak Arab Saudi yang tidak signifikan.

Pengamat perminyakan Kurtubi mengungkapkan hal tersebut di Jakarta, Minggu (27/4).

Menurut catatan Kompas, harga minyak dunia terus melejit sejak Oktober 2007. Setelah menembus 100 dollar AS per barrel pada akhir Februari 2008, harga emas hitam ini terus mendaki. Jumat pekan lalu, harga minyak dunia mendekati 120 dollar AS per barrel. Harga ini dipicu oleh insiden penembakan dua kapal Iran di Teluk Persia oleh kapal Amerika Serikat.

Hari Minggu, sebanyak 1.200 pekerja penyulingan minyak Grangemouth, Skotlandia, memulai pemogokan massal terkait tuntutan soal pensiun. Penyulingan Grangemouth memasok lebih dari 40 persen kebutuhan minyak seluruh Inggris.

Menurut Reuters, pemogokan ini juga membuat jaringan pipa Forties yang memasok 700.000 barrel minyak dari Laut Utara ke Inggris dan pasar dunia berhenti beroperasi. Kurtubi menjelaskan, fundamental pasar minyak dunia yang sudah ketat, ditambah problem teknis dari hulu sampai hilir seperti yang terjadi pada kilang Grangemouth, akan semakin mendongkrak harga minyak.

Untuk menghadapi kondisi tersebut, Kurtubi berpendapat, pemerintah harus melakukan enam langkah konkret.

Pertama, segera menaikkan produksi minyak mentah. Janji kepala BP Migas untuk memproduksi di atas satu juta barrel per hari perlu segera direalisasikan.

Kedua, pemerintah harus mengefisiensikan pembayaran biaya operasional kontraktor migas yang dibebankan kepada negara (cost recovery). Ini artinya harus segera menindaklanjuti temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) menyangkut pengadaan barang dan jasa.

Ketiga, tuntaskan konversi premium ke bahan bakar gas (BBG) untuk semua angkutan umum dan kendaraan pemerintah. Pada saat yang sama selesaikan konversi minyak tanah ke elpiji sebesar 2 juta kiloliter.

Keempat, kaji kemungkinan pajak atas keuntungan yang diperoleh dari tambahan penerimaan akibat kenaikan harga minyak mentah (windfall profit tax) yang diterima 42 kontraktor migas. Kelima, awasi pelaksanaan kartu kendali (smart card).

”Langkah keenam, pemerintah menaikkan harga BBM maksimal 30 persen,” ujar Kurtubi.

Jika harga minyak mentah dunia melonjak ke angka 140 dollar AS per barrel, pemerintah akan dihadapkan pada tekanan berat akibat membengkaknya subsidi BBM. Ini mungkin terjadi jika realisasi produksi minyak mentah dalam negeri (lifting) tidak mencapai sasaran, yakni 927.000 barrel per hari.

Harga minyak di pasar dunia merupakan basis perhitungan harga minyak yang diimpor Pertamina, dan tercatat sebagai pengeluaran migas. Adapun lifting merupakan basis perhitungan penerimaan migas di APBN.

Jika penerimaan migas lebih kecil daripada pengeluaran migas, maka perlu tambahan anggaran subsidi. Saat ini anggaran pengaman untuk menutup subsidi BBM yang melonjak mencapai Rp 9,3 triliun. Namun, jika harga minyak terus naik, bantalan pengaman bisa membengkak di atas Rp 9,3 triliun. Jika bantalan itu tidak disediakan, pemerintah harus mengurangi subsidi BBM, yang berarti menaikkan harga BBM.

Dirjen Perbendaharaan Negara Departemen Keuangan Herry Purnomo menjelaskan, anggaran subsidi BBM yang ada di kas negara secara riil belum digunakan. Itu disebabkan mekanisme pembayaran subsidi BBM masih harus diperhitungkan dengan Pertamina.

Total subsidi BBM dalam APBN Perubahan 2008 mencapai Rp 126 triliun. Melonjak dari alokasi awal di APBN 2008 sebesar Rp 45 triliun. (OIN/JOY)

sumber :

http://www.kompas.com/kompascetak.php/read/xml/2008/04/28/01055375/harga.minyak.bisa.tembus.140.dollar.as

02
May
08

The Urgency of Building Competitiveness to Attract Oil and Gas Investment in Indonesia

the-urgency-of-building-competitiveness-to-attract-oil-and-gas-investment-in-indonesia




May 2024
M T W T F S S
 12345
6789101112
13141516171819
20212223242526
2728293031  

Recent Comments

mustaqim indrawan on Pembangkit Listrik Tenaga Angi…
Deny WS on Pembangkit Listrik Tenaga Angi…
Abdurrahman ibnu uma… on [INFO] Open Source Software…
sinta on Wind Energy Indonesia
rivanroyono on Teknik Fisika (Engineering Phy…

Flickr Photos

Blog Stats

  • 152,250 hits

where you from

<script language="Javascript" src="http://www.ip2phrase.com/ip2phrase.asp?template=You are browsing our website through ISP .">
Powered by IP2Location.com